Question : Assalamualaikum wr wb, Saya adalah mantan karyawan sebuah perusahaan berbentuk PT yang bergerak di bidang manufacture. Saya diberhentikan kerja oleh perusahaan tersebut karena tidak dapat bekerja dikarenakan sedang dalam masa pemulihan akibat keguguran dan harus menjalani pembersihan (kuretasi) di Rumah Sakit. Kondisi saya tersebut sebenarnya sudah diketahui oleh pihak Perusahaan melalui HRD, bahkan HRD justru menyarankan untuk mengajukan surat cuti melahirkan. Surat pengajuan cuti baru saya mau ajukan, tiba tiba HRD datang ke rumah dan memberikan saya surat (terlampir) dimana pada intinya adalah saya diberhentikan kerja sementara hingga sehat kembali. Namun selang beberapa hari saya coba tanyakan kepastiannya seperti apa, justru saya diberitahukan oleh pimpinan perusahaan bahwa saya diberhentikan selamanya dengan alasan tidak jelas dan terkesan mencari cari alasan. Yang mau saya tanyakan apakah boleh sebuah perusahaan memberhentikan karyawan yang mengalami sakit atau melahirkan seperti saya? Meskipun saya statusnya adalah karyawan kontrak dan belum ada 1 tahun bekerja di perusahaan tersebut. Lantas kira kira apa yang bisa saya lakukan sebagai karyawan yang diberhentikan seperti itu ? terima kasih atas jawabannya Wassalamualaikum wr wb. Hormat saya, YFR |
Answer :
Aris Setyo Nugroho,S.H.,M.H.
Salam hormat,
Assalamualaikum wr wb
Salam sejahtera bagi kita semua
Om swastiasu namo budaya
Salam kebajikan
Welcome to law area
Sebelumnya kami mengucapkan turut berduka cita atas kejadian yang menimpa ibu dan bayi, semoga diberi kekuatan dan ketabahan. Mengenai pertanyaan ibu yakni diberhentikan bekerja oleh perusahaan setelah mengalami keguguran kandungan dan harus menjalani masa perawatan, sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya karena sehabis melahirkan. Lalu bagaimana pandangan hukum atas peristiwa tersebut ?
Bahwa berdasarkan atas Ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf e Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sangat jelas dikatakan bahwa
“(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; …….”
Ketentuan tersebut juga dipertegas ke dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor : Kep - 150 / Men / 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan Menteri Tenaga Kerja. Pasal 2 huruf (d) menyatakan ;
“…Pemutusan hubungan kerja dilarang :
d. karena alsaan menikah, hamil, melahirkan atau gugur kandungan; ….”
Pada Undang-Undang Cipta Kerja tersebut hanya menyisipkan ketentuan mengenai syarat perusahaan boleh melakukan Pemutusan Hubungan Kerja pada Pasal 154 A “a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan; b. perusahaan melakukan efisiensi; c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian; d. perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur); e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang; f. perusahaan pailit; g. perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh; h. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri; i. pekerja/buruh mangkir; j. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; k. pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib; l. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan; m. pekerja/buruh memasuki usia pensiun, atau; n. pekerja/buruh meninggal dunia.
Selain mengkaji dari sisi peraturan hukum, coba kita bedah juga bagaimana susunan format dari Surat PHK tersebut. Pada dasarnya Surat PHK merupakan salah satu bentuk produk Hukum, karena didasarkan atas Perjanjian Kerja dan/atau Peraturan Perusahaan dan/atau Undang-Undang Ketenagakerjaan. Meskipun tidak ada ketentuan baku mengenai harus bagaimana bentuk susunan format suatu Surat PHK. Namun karena merupakan bagian dari produk hukum, maka paling tidak juga mencantumkan beberapa klausul ketentuan aturan yang mengaturnya ke dalam Pertimbangan atau konsideran seperti “MENIMBANG” dan “MENGINGAT”. Pada bagian pertimbangan “MENIMBANG” maka mencantumkan dasar alasan dikeluarkannya keputusan tersebut. Lalu pada bagian “MENGINGAT” perlu dituliskan dasar hukum pertimbangan mengeluarkan keputusan tersebut, semisal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Kontrak Kerja), Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama, Peraturan Pemerintah hingga Undang Undang.
Jika kita melihat kembali pada bentuk surat PHK yang disodorkan kepada klien kami tersebut, jelas tidak mencantumkan ketentuan aturan hukum yang digunakan sebagai rujukan. Entah sengaja agar menjadi kabur (bias) ataukah murni ketidaktahuan mengenai aturan hukum yang mengaturnya?
Berikutnya adalah perlu dilihat siapa yang berhak untuk mengeluarkan dan menandatangani surat tersebut? Perlu diingat bahwa dalam hukum, hanya Direksi yang tercantum dalam Akta Perusahaan lah yang berhak untuk melakukan perbuatan hukum mewakili Badan Hukum (Perusahaannya), termasuk dalam hal menandatangani perjanjian (termasuk perjanjian kerja) hingga Surat Keputusan (PHK) yang ada kaitannya dengan Perjanjian Kerja tersebut. Namun dalam surat PHK diatas jelas tercantum bahwa jabatan yang menandatangani surat PHK bukanlah berkedudukan sebagai Direktur, bahkan jabatannya pun bukan merupakan bagian Sumber Daya Manusia (HRD) yang lazim disebutkan di beberapa perusahaan. Terlebih alas hak bertindaknya juga tidak mencantumkan apakah ada Surat Kuasa Khusus dari Direktur kepada si penandatangan selaku penerima kuasa. Kembali lagi secara format struktur juga telah terdapat kelalaian yang nyata serta pelanggaran atas hukum.
Dari uraian diatas maka sudah tega dan jelas bahwa Surat Keputusan PHK yang dikeluarkan oleh Perusahaan dari klien tersebut bertentangan dengan Hukum khususnya Hukum Ketenagakerjaan. Lantas apa yang bisa dilakukan si karyawan jika memperoleh Surat PHK yang bertentangan dengan hukum tersebut? Karyawan tersebut dapat mengajukan keberatan melalui Dinas Tenaga Kerja terkait atau mengajukan Gugatan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) ke Pengadilan Hubungan Industrial wilayah masing masing untuk menuntut hak haknya sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang. Lebih lanjut akan kita bahas pada sesi berikutnya.
Baik demikian penjelasan dari kami terkait dengan adanya Surat PHK yang dikeluarkan oleh Perusahaan kepada Karyawan dengan alasan Hamil atau Melahirkan. Semoga dapat memberikan edukasi bagi para karyawan agar dapat terlindungi hak haknya sebagai karyawan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.
Sekian dari kami, wassalamualaikum wr wb
Viva Justicia……!!!